Blogger templates

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Pendidikan Non Formal Jalur Masa Depan

 PENDIDIKAN NONFORMAL BERBASIS MASYARAKAT

Pendidikan berbasis masyarakat (communihy-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.~
Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.
1. Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah.
Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutullan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.
Di dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.
Sementara itu dilingkungan akademik para akhli juga memberikan batasan pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Michael W. Galbraith, community-based education could be defined as an educational process by which individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis. Pendapat lebih luas tentang pendidikan berbasis masyarakat dikemukakan oleh Mark K. Smith sebagai berikut:
… as a process designed to enrich the lives of individuals and groups by engaging with people living within a geographical area, or sharing a common interest, to develop voluntar-ily a range of learning, action, and reflection opportunities, determined by their personal, social, econornic and political need.”
Artinya adalah bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka.
Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Dalam UU sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat disebutkan sebagai berikut :
1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
2. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber-dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan-yang berlaku.
4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
5. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dari kutipan di atas nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat diselenggarakan dalam jalur formal maupun nonformal, serta dasar dari pendidikan berbasis masyarakat adalah kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan yang luas untuk mengelolanya. Oleh karena itu dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.
Untuk itu Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain .
2. Pendidikan Nonformal Berbasis Masyarakat
Model pendidikan berbasis masyarakat untuk konteks Indonesia kini semakin diakui keberadaannya pasca pemberlakuan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan lembaga ini diatur pada 26 ayat 1 s/d 7. jalur yang digunakan bisa formal dan atau nonformal.
Dalam hubungan ini, pendidikan nonformal berbasis masyarakat adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis.
Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi.
3. Pinsip-prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat
Menurut Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
• Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.
• Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.
• Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
• Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.
• Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.
• Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.
• Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
• Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.
• Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.
Dalam perkembangannya, community-based education merupakan sebuah gerakan nasional di negara berkemang seperti Indonesia. community-based education diharapkan dapat menjadi salah satu fondasi dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society). Dengan sendirinya, manajemen penndidikan yang berdasarkan pada community-based education akan menampilkan wajah sebagai lembaga pendidikan dari masyarakat. Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat pada jalur nonformal setidak-tidaknva mempersyaratkan lima hal (Sudjana. 1984). pertama, teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada di masyarakat. Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnva tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh. Kedua, ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Di sini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam peencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah. Ketiga, program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar dalam berperan di masyarakat. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata.
Keempat, program belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman selama ini bahwa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi pemerintah terbukti belum mampu membangkitkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi hanyalah pemaksaan program, karena semua program pendidikan dirancang oleh instansi yang bersangkutan. Kelima, aparat pendidikan luar sekolah/nonformal tidak menangani sendiri programnya, namun bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program.
4. Pendidikan Berbasis Masyarakat untuk pembangunan masyarakat
Dalam upaya mendorong pada terwujudnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat, maka diperlukan upaya untuk menjadikan pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang tepat akan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Pembangunan/pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat desa merupakan suatu fondasi penting yang dapat memperkuat dan mendorong makin meningkatnya pembangunan bangsa, oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan nonformal dapat menjadi suatu yang memberi makna besar bagi kelancaran pembangunan.
Pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat sebagai istilah-istilah yang dimaksud dalam pembahasan ini mengandung arti yang bersamaan. Pengembangan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, bila dibandingkan dengan daerah perkotaan jelas menunjukan suatu ketimpangan, sehingga memerlukan upaya yang lebih keras untuk mencoba lebih seimbang diantara keduanya. pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat tersebut menunjukkan suatu upaya yang disengaja dan diorganisasi untuk memajukan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya yang dilakukan di dalam satu kesatuan Wilayah. Kesatuan wilayah itu bisa terdiri dari daerah pedesaan atau daerah perkotaan.
Upaya pembangunan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan kualitas kehidupan manusia dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Agar pembangunan itu berhasil, maka pembangunan haruslah menjadi jawaban yang wajar terhadap kebutuhan perorangan, masyarakat dan Pemerintah baik di tingkat desa, daerah ataupun di tingkat nasional. Dengan demikian maka isi, kegiatan dan tujuan pengembangan masyarakat akan erat kaitannya dengan pembangunan nasional.
TR Batten menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat ialah proses yang dilakukan oleh masyarakat dengan usaha untuk pertama-tama mendiskusikan dan menentukan kebutuhan atau keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan secara bersama usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka itu (Batten, 1961). Dalam proses tersebut maka keterlibatan masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut. Tahap pertama, dengan atau tanpa bimbingan fihak lain, masyarakat melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, keinginan dan potensi-potensi yang mereka miliki. Kemudian mereka mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan mereka, menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan itu berdasarkan tingkat keperluan, kepentingan dan mendesak tidaknya usaha pemenuhan kebutuhan. Dalam identifikasi kebutuhan itu didiskusikan pula kebutuhan perorangan, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan Pemerintah di daerah itu. Mereka menyusun urutan prioritas kebutuhan itu sesuai dengan sumber dan potensi yang terdapat di daerah mereka. Tahap kedua, mereka menjajagi kemungkinan-kemungkinan usaha atau kegiatan yang dapat mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan itu. apakah sesuai dengan sumber-sumber yang ada dan dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan hambatan yang akan dihadapi dalam kegiatan itu. Selanjutnya mereka menentukan pilihan kegiatan atau usaha yang akan dilakukan bersama. Tahap ketiga, mereka menentukan rencana kegiatan, yaitu program yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dikalangan masyarakat. Rasa pemilikan bersama itu menjadi prasarat timbulnya rasa tanggung jawab bersama untuk keberhasilan usaha itu. Tahap keempat ialah melaksanakan kegiatan. Dalam tahap keempat ini motivasi perlu dilakukan. Di samping itu komunikasi antara pelaksana terus dibina. Dalam tahap pelaksanaan ini akan terdapat masalah yang menuntut pemecahan. Pemecahan masalah itu dilakukan setelah dirundingkan bersama oleh masyarakat dan para pelaksana. Tahap kelima, penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan, terhadap hasil kegiatan dan terhadap pengaruh kegiatan itu. Untuk kegiatan yang berkelanjutan, hasil evaluasi itu dijadikan salah satu masukan untuk tindak lanjut kegiatan atau untuk bahan penyusunan program kegiatan baru. Semua tahapan kegiatan itu dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif. Pengembangan masyarakat yang bertumpu pada kebutuhan dan tujuan pembangunan nasional itu memiliki dua jenis tujuan. Tujuan-tujuan itu dapat digolongkan kepada tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dengan sendirinya mengarah dan bermuara pada tujuan nasional, sedangkan tujuan khusus yaitu perubahan-perubahan yang dapat diukur yang terjadi pada masyarakat. Perubahan itu menyangkut segi kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri setelah melalui program pengembangan masyarakat. Perubahan itu berhubungan dengan peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan keterlibatannya dalam pembangunan. Dengan kata lain tujuan khusus itu menegaskan adanya perubahan yang dicapai setelah dilakukan kegiatan bersama, yaitu berupa perubahan tingkah laku warga masyarakat. Perubahan tingkah laku ini pada dasarnya merupakan hasil edukasi dalam makna yang wajar dan luas, yaitu adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspirasi warga masyarakat serta adanya penerapan tingkah laku itu untuk peningkatan kehidupan mereka dan untuk peningkatan partisipasi dalam pembangunan masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan masyarakat itu bisa terdiri dari partisipasi buah fikiran, harta benda, dan tenaga (Anwas Iskandar, 1975). Dalam makna yang lebih luas maka tujuan pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah pengembangan demokratisasi, dinamisasi dan modernisasi (Suryadi, 1971).
Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang dikemukakan di sini ialah keterpaduan, berkelanjutan, keserasian, kemampuan sendiri (swadaya dan gotong royong), dan kaderisasi. Prinsip keterpaduan memberi tekanan bahwa kegiatan pengembangan masyarakat didasarkan pada program-program yang disusun oleh masyarakat dengan bimbingan dari lembaga-lembaga yang mempunyai hubungan tugas dalam pembangunan masyarakat. Prinsip berkelanjutan memberi arti bahwa kegiatan pembangunan masyarakat itu tidak dilakukan sekali tuntas tetapi kegiatannya terus menerus menuju ke arah yang lebih sempurna. Prinsip keserasian diterapkan pada program-program pembangunan masyarakat yang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan Pemerintah. Prinsip kemampuan sendiri berarti dalam melaksanakan kegiatan dasar yang menjadi acuan adalah kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat sendiri.
Prinsip-prinsip di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup mereka
Dalam hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pendidikan Nonformal Adalah Sebagai Pendidikan Yang Amat Dinamis Dengan Waktunya Yang Fleksibel

Pendidikan non formal suatu paradigma di dalam memajukan anak bangsa khususnya mereka yang tidak ditempa dalam pendidikan formal. Seharusnya pendidikan nonformal menjadi pendidikan alternatif bahkan lebih dari pendidikan formal. Namun seyogyanya salah satu yang ada dalam pikiran bagaimana kita untuk kedepan mungkin pendidikan nonformal dapat lebih menggunakan keuntungan dari pendidikan nonformal adalah sebagai pendidikan yang amat dinamis dan waktunya fleksibel. Sehingga kedepan dapat diketemukan cara untuk sebuah sistem pembelajaran yang bersifat dinamis dan berkualitas dengan menggunakan keuntungan yang ada dan didapat itu memiliki arti luas.
Menurut saya pendidikan formal itu jangan menjadikan kita terbelenggu dengan kurikulum yang ada, padahal begitu banyak hal yang harus dipelajari, hanya membuat kita berpikir terkotak-kotak dengan sajian yang ada untuk pembelajaran sehingga kita kesulitan untuk berpikir bebas inovatif maupun berfikir logis dan kreatif; sebaiknya jangan ada anggapan lebih kepada mengejar ijazah bukan kepada kemampuan, baik itu kemampuan kognitif, afektif dan psikomorik; sehingga menjadikan pola pikir kita menjadi kaku, lebih cenderung tidak ada keberanian untuk mendobrak apa yang telah ada atau yang telah berjalan, Mudah-mudahan pendidikan nonformal betul-betul dapat menggantikan pendidikan formal yang diharapkan ada daya persaingan yang harmonis diantara ke dua bentuk pendidikan yang sudah diatur dalam Undang-undang nomor 20 tahun 1989.
Kita juga berharap, sebaiknya Pendidikan Nonformal setiap programnya diarahkan untuk peningkatan keterampilan kerja mandiri, jadi disetiap lembaganya perlu adanya semacam unit pengembangan usaha dan permodalan, agar mereka yang kebetulan telah meraih pendidikan di lembaga tersebut betul-betul dapat menguasai ilmunya dan juga menguasai cara pengolahannya sehingga laku dijual, apalagi di era otonomi ini mestinya tidak terlalu sulit untuk melaksanakan program tersebut.
Tentunya sangat tergantung kepada Pemimpin Daerahnya dan yang lebih baik lagi ada payung hukumnya, sehingga tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku. Alangkah sangat bijak lagi apabila, instansi terkait di daerah saling mendukung yaitu melaksanakan kegiatan produktif dalam satu atap atau mekanisme tertentu, sehingga peserta didik pendidikan nonformal setelah lulus betul-betul mampu dapat bersaing baik dari segi kualitas ilmu, maupun segi hasil kualitas produksinya.
Kalau kita lihat dengan mata yang jelas dan keterharuan pada sebuah pendidikan merupakan yang paling menarik secara pasti adalah pendidikan nonformal, karena lembaga ini setelah di pahami dan disebut dengan barang langka masih banyak orang yang belum mengenalnya bahkan ada yang ikut suatu jenjang pendidikan di dengan klasifikasi kesarjanaan S1.
Sementara pendidikan nonformal adalah merupakan sebuah pendidikan yang sulit dan banyak liku-likunya tidak semudah formal yang hanya dapat di lakukan secara tatap muka yang berada di kelasnya.Nah kalau semua ini dapat diterima dan di jabarkan oleh para penentu kebijakan maka pendidikan nonformal itu sudah banyak tenaganya. ini akan menjadi sebuah wacana yang akan pasti lebih berpikir arif dan bijaksana andaikan ini tentunya tidak terlepas dari sebuah pengabdian. .
Kalau semua ini untuk meningkatkan mutu PTK-PNF mari kita ajak para stakeholder itu untuk dapat mengabdi kepada pendidikan nonformal jadi ketuntasan wajib belajar 9 tahun. Tentunya kita ketahui bersama banyak Program-program pelatihan atau orientasi bagi PTK-PNF besar manfaatnya, oleh karena itu program tersebut harus benar-benar direalisasikan baik di dalam negeri maupun program keluar negeri.
Selain adanya sarana dan prasarana, hal yang terpenting lainnya adalah cara menggunakan sarana dan prasarana tersebut dengan efektif. Oleh sebab itu, maka pembuatan rencana program sosialisasi dengan menggunakan berbagai media yang ada agar betul-betul direncanakan dengan sebaik-baiknya. Baik dari sisi minat pada masyarakat maupun pandai menangkap isu yang berkembang pada masyarakat, khususnya tentang pendidikan nonformal.
Terakhir untuk mendapatkan SDM yang baik, maka perlu diadakan diklat yang berkesinambungan dan sasaran yang tetap sehingga hasil yang diperoleh benar-benar dapat terserap dengan baik dan dapat direalisasikan di SKB masing-masing. Khususnya program ICT, kendala utama yang dihadapi selama ini adalah tidak adanya tenaga staf maupun pamong belajar yang memang adalah ahli komputer. Jadi jalan terbaiknya adalah dengan diklat yang berkesinambungan dan sasaran yang tetap.
Barangkali inilah yang menjadi pemikiran bersama, kita berharap dengan respon dan dukungan yang diberikan oleh pemerintah kita khususnya Dit PTK-PNF diharapkan untuk wajar 2009 tuntas melalui program-program unggulan yang jitu dalam membebaskan Indonesia dari buta aksara, yang jelas sesuai dengan tupoksi pendidikan non formal sebagai pendidikan yang dinamis dengan waktu yang fleksibel

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SISTEM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN ISLAM NON FORMAL DI INDONESIA

SISTEM PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN ISLAM NON FORMAL DI INDONESI
A.   Pendahuluan
Pengembangan pendidikan non formal dalam dunia ilmu pengetahuan, pengembangan sumber daya manusia, dan pembangunan sudah tentu memerlukan sarana pendukung yang memadai. Sarana itu antara lain adalah buku-buku dan sumber-sumber informasi lainnya yang membahas pendidikan non formal secara lebih luas baik pembahasan mengenai landasan-landasan teoritis maupun tentang program-program pendidikan non formal dalam pengembangan sumber daya manusia.
Dilihat dari latar belakang pendiriannya pendidikan Islam adalah pendidikan yang lebih didasarkan atas niat dan motivasi masyarakat dalam rangka ingin mengejewantahkan nilai-nilai Islam, hal tersebut dapat diketahui dari pelaksanaannya selama ini yakni lebih ditekankan pada upaya membangun pengetahuan siswa/peserta didiknya dengan menitikberatkan pada internalisasi nilai iman, Islam dan ihsan[1] dibandingkan dengan pengetahuan umum lainnya,  praktik pendidikan yang demikian, memang mendapat kritikan yang tajam oleh berbagai pihak, alasan  rasional yang melandasi kritik tersebut adalah karena model pendidikan demikian ternyata kurang merealitas dan hanya menyentuh aspek tertentu dari kehidupan manusia, akibatnya, banyak diantara produk pendidikan Islam kurang mampu bersaing dalam kompetisi global terutama ketika dihadapkan dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini.
Dalam catatan sejarah pendidikan di Indonesia, eksistensi pendidikan Islam merupakan salah satu lembaga pendidikan yang tergolong berusia sangat tua dalam ikut memberi sumbangsih pembangunan bangsa, hal ini terlihat jelas hingga dewasa ini, dimana pendidikan Islam masih memiliki tempat yang sangat strategis, karena pendidikan ini diselenggarakan untuk memberikan layanan kepada masyarakat sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan jalur sekolah formal dalam rangka mendukung proses pendidikan sepanjang hayat[2] dan layak diperhitungkan, sekalipun perkembangannya masih diliputi berbagai problem.
Berangkat dari kondisi tersebut, serta mencermati perubahan zaman dan segala dampaknya, tuntutan untuk melakukan perubahan dalam dunia pendidikan Islam menjadi suatu keharusan dengan tujuan agar dapat sesuai dengan perkembangan zaman tersebut, tuntutan perubahan ini juga dimaksudkan agar praktik pendidikan Islam dapat terintegrasi dengan ilmu-ilmu lainnya sebagai wujud responsif pendidikan Islam terhadapa perkembangan zaman itu sendiri.
Mentegarai hal tersebut, bagi masyarakat bangsa Indonesia, masalah pendidikan dengan sendirinya menjadi salah satu agenda yang menduduki posisi penting. Kesadaran akan hal inilah yang menjadikan pemerintah (negara) memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan porses pendidikan bagi warga negaranya. Hanya saja jika dicermati, tampak kesenjangan antara tingginya animo masyarakat untuk mereguk pendidikan sebanyak-banyaknya dengan kemampuan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan.
Menyadari keterbatasan yang dimiliki, negara membuka peluang kepada setiap individu warga negara, kelompok masyarakat dan lembaga yang ada di masyarakat lainnya untuk ikut berpartisipasi memecahkannya. Pada sisi inilah banyak lembaga-lembaga Islam yang turut mengambil peluang untuk ikut berkompetisi menyelenggarakan lembaga pendidikan, tentunya dengan tujuan selain sebagai wujud partisipasi aktif, juga adanya keharusan untuk melindungi umat dengan cara menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan agama yang dianutnya
Di lihat dari sisi manapun, pendidikan Islam memiliki peran dalam konteks pendidikan nasional. Hanya saja harus pula dimaklumi dan dipahami jika hingga hari ini secara struktural dan kultural lembaga pendidikan Islam belum menjadi  pilihan utama bagi sebagian umat Islam terutama kelompok menengah keatas[3] dan menganggap lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga pendidikan ”kelas dua”. Sebagai misal, banyak orang Islam menengah keatas yang menyekolahkan anaknya tidak pada lembaga pendidikan Islam, jurusan yang menawarkan pendidikan Islam kurang banyak peminatnya, jika dibandingkan dengan jurusan lain yang dianggap memiliki orientasi masa depan yang lebih baik. Dalam hal pengembangan kelembagaan akan pula terlihat betapa program studi/sekolah  yang berada di bawah pengelolaan dan pengawasan Departemen Agama tidak selalu yang terjadi di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), bahkan harus dengan tertatih untuk menyesuaikan dengan yang terjadi di sekolah-sekolah umum tersebut.
Berbicara tentang pendidikan Islam atau pendidikan pada umumnya, dari aspek jalurnya maka terdapat beberapa istilah lembaga pendidikan, yakni pendidikan informal, formal, dan non formal, ketiga jalur pendidikan ini dalam pelaksanaannya saling melengkapi untuk pencapai tujuan secara umum yang ditetapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, tingkat perhatian pemerintah dalam hal kebijakanpun tetap harus mampu mengakomodir kepentingan ketiga jalur pendidikan tersebut, hal ini sesuai dengan yang telah diamanatkan dalam landasan yuridis sistem pendidikan nasional.
Berkaitan dengan kebijakan tersebut, realitas dilapangan menunjukkan bahwa kebijakan dalam pendidikan sering menimbulkan problem-problem baru, dan ini berlaku untuk semua jalur, jenjang dan satuan pendidikan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan Islam non formal, akibatnya pelaksanaan pendidikan berikut tujuan yang hendak dicapai sangat mungkin tidak bersesuaian dengan yang diharapakan. Karena itu, diperlukan suatu kajian dan pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam sehingga setiap problem yang dihadapi lembaga pendidikan Islam secara bertahap dapat di atasi.
Pendidikan Islam non formal sangat perlu diperhatikan untuk meningkatkan sistem pelaksanaannya, sistem pelaksanaan pendidikan Islam non formal di Indonesia masih belum maksimal, sehingga perlu adanya perbaikan-perbaikan, baik dari sistem kelembagaan, kurikulum, pembelajaran, maupun perbaikan dari para pendidik dan pengelolanya. Karena pendidikan Islam non formal di Indonesia sangat diperlukan untuk meningkatkan kebutuhan mereka seperti yang ada pada saat ini, maka pendidikan Islam non formal perlu ditingkatkan seoptimal mungkin.
Lebih jauh makalah ini akan diuraikan secara umum tentang pengertian dan ciri khas pendidikan Islam non formal di Indonesia, Kedua, Jenis dan kategori pendidikan Islam non formal di Indonesia, Ketiga, Sistem penyelenggaraan kursus privat agama Islam di perkotaan, Keempat, Sistem penyelenggaraan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji), dan Kelima, Pengembangan sistem penyelenggaraan pendidikan Islam non formal ke depan.

  1. B.   Pengertian dan Ciri Khas Pendidikan Islam Non formal di Indonesia
Pengertian pendidikan Islam non formal ialah pendidikan Islam yang setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani anak-anak tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya.[4]  Penyelenggaraan pendidikan non formal ini tidak terikat oleh jam pelajaran sekolah, dan tidak ada penjejangan sehingga dapat dilaksanakan kapan saja dan dinama saja; dan tergantung kepada kesempatan yang dimiliki oleh para anggota masyarakat dan para penyelenggara pendidikan agama Islam pada masyarakat itu sendiri. Pandangan senada berdasarkan Undang-undang Pendidikan Nasional bahwa pendidikan non formal yang diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/ atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.[5]
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati mengatakan bahwa pendidikan Islam non formal atau pendidikan luar sekolah adalah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib, dan berencana, di luar kegiatan persekolahan.[6] Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa apa yang diungkapkan oleh Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati sama dengan pengertian yang sebelumnya bahwa sama-sama pendidikan di luar sekolah, teratur, mandiri, dan terencana.
Sedangkan dari pengertian yang lain dikatakan bahwa pendidikan Islam non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.[7] Pada pengertian ini ada penambahan atau pengembangan dari pengertian sebelumnya yaitu penyetaraan dengan pendidikan formal, sehingga sama dengan pendidikan nasional yang dalam hal tersebut mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Dengan tiga pengertian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan Islam non formal adalah bukanlah jenis pendidikan Islam formal dan bukan jenis pendidikan Islam informal, namun sistem pembelajarannya di luar sekolah. Meskipun sistem pembelajarannya di luar sekolah, bukan berarti tidak mengarah pada Tujuan Pendidikan Nasional dan Standar Pendidikan Nasional (SNP), akan tetapi tetap mengarah terhadap tujuan pendidikan yang ditetapkan oleh Pemerintah Departemen Pendidikan Nasional.
Ragam pengertian tentang pendidikan Islam non formal telah memberikan gambaran bahwa pendidikan tersebut setara dengan pendidikan formal. Namun, keberadaannya lebih rendah statusnya dibandingkan dengan lulusan pendidikan formal, malah sering terjadi para lulusan pendidikan yang disebut pertama berada dalam pengaruh lulusan pendidikan non formal. Pendidikan non formal juga mempunyai tujuan dan fungsi. Tujuan dan fungsi pendidikan Islam non formal yang bertujuan untuk memberikan layanan pendidikan kepada semua warga masayarakat, baik laki-laki maupun perempuan agar memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan vokasional, serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional, sehingga pendidikan non formal dapat pula berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap pendidikan non formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.[8] Sehingga di masa mendatang program pendidikan Islam non formal dapat menjadi pendidikan alternatif yang dapat memenuhi standar nasional maupun internasional. Hal inilah yang diharapakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat bangsa Indonesia.
Selain tujuan tersebut di atas, pendidikan Islam non formal di Indonesia juga bertujuan untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat yang tidak/belum pernah sekolah atau buta aksara, putus sekolah, dan warga masyarakat yang mengalami hambatan lainnya baik laki-laki maupun perempuan, agar memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup (life skills), serta pengembangan sikap dan kepribadina profesional,[9] sehingga pendidikan non formal dapat pula berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mewujudkan masyarakat pembelajar sepanjang hayat, sehingga dapat menjadi pendidikan alternatif yang dapat memenuhi standar nasional maupun internasional.
Selain itu juga, terkait dengan tujuan pendidikan Islam non formal di Indonesia Husen dan Postlethwaite (1985) menjelaskan bahwa pendidikan non formal di negara-negara sedang berkembang mempunyai tujuan umum (goals) yang berkaitan dengan peningkatan mobilitas vertikal (upward mobility), latihan untuk modernisasi angkatan kerja (modernisasi work force), pembangunan pedesaan (fural development), dan pembinaan berpolitik (political incorporation).[10]
Tujuan umum untuk meningkatkan mobilitas vertikal bagi peserta didik dan masyarakat telah menjadi fokus para perencana pendidikan non formal untuk pembangunan. Sejak pendidikan formal tidak berhasil meningkatkan status penduduk miskin, maka pendidikan non formal dipandang sebagai upaya alternatif untuk memberikan kesempatan peningkatan status kehidupan bagi mereka. melalui pendidikan non formal, penduduk miskin dapat mempelajari keterampilan kerja dan usaha sehingga mereka menjadi lebih produktif, yang pada gilirannya dapat meningkatkan status sosial-ekonomi dirinya di dalam masyarakat.
Adapun ciri khas pendidikan Islam non formal di Indonesia di antaranya adalah [11];
1.   Menekankan pentingnya ijazah, sehingga hasil belajar, berijazah atau tidak, dapat diterapkan langsung dalam kehidupan di lingkungan masyarakat. Ganjaran diperoleh selama proses dan akhir program berwujud hasil, produk, pendapatan, dan keterampilan.
2.   Lama penyelenggaraan program tergantung pada kebutuhan belajar peserta didik.
3.   Kurikulum sesuai dengan perbedaan kebutuhan belajar peserta didik dan potensi daerahnya pendidikan.
4.   Kegiatan belajar dapat dilakukan diberbagai lingkungan.
5.   Pembinaan program dilakukan secara demokratis.
Hal ini diperkuat pendapat Sudjana[12] bahwa pendidikan formal mempunyai derajat ketaatan dan keseragaman yang lebih longgar disbanding dengan pendidikan formal. Pendidikan non formal memiliki bentuk dan isi program yang bervariasi, sedangkan pendidikan formal, umumnya, memiliki bentuk dan isi program yang seragam untuk setiap satuan, jenis, dan jenjang pendidikan. Perbedaan ini pun tampak pada teknik-teknik yang digunakan dalam diagnosis, perencanaan, dan evaluasi. Dan tujuan pendidikan non formal heterogen, sedangkan tujuan pendidikan formal seragam setiap satuan  dan jenjang pendidikan.
Menurut Soleman, ciri-ciri pendidikan non formal yaitu :
  1. Pendidikan non formal lebih fleksibel dalam artian tidak ada tuntutan syarat credential yang ketat bagi anak didiknya, waktu penyelenggaraan disesuaikan dengan kesempatan yang ada. Beberapa bulan, beberapa tahun dan sebagainya.
  2. Pendidikan non formal mungkin lebih efektif dan efesien untuk bidang-bidang pelajaran tertentu. Bersifat efektif karena program pendidikan non formal bisa spesifik sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat-syarat (guru, metode) dan sebagainya.
  3. Pendidikan non formal bersifat quick yelding artinya dalam waktu yang singkat dapat digunakan untuk melihat tenaga kerja yang dibutuhkan, terutama untuk memperoleh tenaga yang memiliki kecakapan.
  4. Pendiidkan non formal sangat instrumental artinya pendiidkan yang bersangkutan bersifat luwes, mudah dan murah serta dapat menghasilkan dalam waktu yang relatif singkat.[13]
Dalam pelaksanaan pendidikan non formal harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Harus jelas tujuannya
  2. Ditinjau dari segi masyarakat program pendiidkan non formal harus menarik baik hasil yang akan dicapai maupun cara-cara melaksanakannya.
  3. Adanya integrasi pendidikan non formal dengan program-program pembangunan dalam masyarakat.
Dalam UUSPN, kegiatan pendidikan non formal meliputi; pendidikan kecakapan hidup, pendiidkan anak usia dini, pendiidkan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendiidkan keaksaraan, pendidikan ketrampilan, dan pelatihan kerj, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Dengan demikian, sangat terlihat sekali bahwa ciri khas pendidikan Islam non formal di Indonesia bukan hanya berjalan semata-mata untuk kepentingan ijazah saja, akan tetapi secara umum lebih menitiktekankan pada kualitas sumber daya manusia dan secara khusus mampu menerapkan kecakapan hidup (life skills) dalam kehidupan sehari-harinya. Makanya, kalau di negara-negara luar banyak orang-orang yang pintar bukanlah orang-orang yang belajar di pendidikan formal, akan tetapi lebih banyak belajar di pendidikan non formal. Di Indonesia juga banyak yang demikian, seperti D. Zawawi Imran budayawan Madura, beliau pendidikan formalnya hanya di sekolah dasar (SD) saja, akan tetapi ia mampu melebihi orang-orang yang belajar di pendidikan formal sampai selesai, yaitu dari SD/MI sampai ke S3. Misalnya, KH Sahal Mafud merupakan santri dari pesantren Bendo Pare kediri, Namun ia dapat penghargaan doctor honoris causa bidang figh social dari UIN Jakarta dan juga KH Ihsan Jampes Kediri yang berasal lulusan pesantren Bendo Kediri. Ia sangat terkenal di Al-azhar karena Kitab Sirojuttolibinnya . Dengan realitas tersebut, sangat berarti sekali fungsi dan manfaat pendidikan Islam non formal tidak dapat diragukan keberadaannya.

  1. C.   Jenis dan Kategori Pendidikan Islam Non formal di Indonesia
Kata jenis dalam Kamus Besar Indonesia mempunyai arti ciri (sifat, keturunan, dan lain sebagainya) yang khusus; macam.[14] Dengan penjelasan tersebut, akan mengetahui jenis pendidikan Islam non formal di Indonesia. Jenis pendidikan non formal adalah pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan kedinasan, pendidikan jabatan kerja, dan pendidikan kejuruan. PP No. 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Pra Sekolah yang mengatur pendidikan anak dini usia (PADU).[15] Secara kusus, pendidikan keagamaan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No: 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Bab I, Pasal 1, Ayat 2 berbunyi, pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan / atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Berdasarkan dari paparan tersebut penulis mendeskripsikan jenis pendidikan non formal berikut ini:
1.   Pendidikan Taman al-Qur’an. Berangkat dari Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Bab III Pasal 24 Ayat 1 yang berbunyi bahwa Pendidikan al-Qur’an bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik dalam membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan al-Qur’an.[16]
Berangkat dari hal tersebut di atas, maka Taman Pendidikan al-Qur’an (TPA/TPQ) ini akan diajarkan bagaimana cara menulis dan membaca huruf al-Qur’an, dengan melihat bakat anak; jika anak mempunyai daya hafal yang kuat, guru akan menuntunnya dengan menghafal ayat-ayat pada surah yang pendek-pendek begitu pula doa-doa yang akan dipakai sehari-hari, mulai dari bangun tidur sampai dia tidur di malam hari.        
Anak-anak diajarkan membaca doa sesuai denga kebutuhannya, misalnya mulai bangun tidur, masuk kamar mandi dan keluar kamar mandi, berganti pakaian dan sarapan pagi sebelum makanpun akan dituntun dengan memohon pada Tuhan (berdoa) agar nasi yang dimakan menjadi berakah begitu pula doa keluar rumah akan berangkat sekolah, dan doa sebelum menerima pelajaran dari gurunya di sekolah.
Pada usia Sekolah Dasar 7-12 tahun anak mulai berkembang menjadi anak remaja yang dibekali dari pendidikan rumah tangga dengan menanamkan disiplin, misalnya dengan keharusan bangun pagi, pada mulanya anak merasa terpaksa karena dingin bangun pagi namun jika orang tua mendidik anaknya dengan cara yang bisa diterima anak, maka anak tidak lagi merasa terpaksa bangun pagi walaupun pada awalnya dia merasa terpaksa bangun pagi yang merupakan suatu keharusan dari orang tuanya. Keharusan ini nanti akan bermuara kepada kedisiplinan anak menjalankan shalat subuh. Pulang sekolah anak diajarkan menukar pakaian dan makan siang dengan diawali doa sebelum makan tentunya diajarkan mencuci tangan sebelum makan sebagai persyaratan kesehatan yang dituntun oleh orang tua. Kebiasaan ini sampai anak berumur 12 tahun.
2.   Majelis Ta’lim. Majelis ini bila dilihat dari struktur organisasinya, termasuk pendidikan luar sekolah atau satu lembaga pendidikan Islam yang bersifat non-formal, yang senantiasa menanamkan akhlak yang luhur dan mulia, meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan keterampilan jama’ahnya, serta memberantas kebodohan umat Islam agar dapat memperoleh kehidupan yang bahagia dan sejahtera serta diridhai oleh Allah Swt.[17]
Sementara itu, bila dilihat dari tujuan, majelis ta’lim termasuk lembaga atau sarana dakwah islamiyah yang secara self standing dan self disciplined dapat mengatur dan melaksanakan kegiatan-kegiatannya atas dasar prinsip-prinsip demokrasi atau musyawarah-mufakat demi kelancaran pelaksanaan ta’lim sesuai dengan tuntutan pesertanya.[18]
Majelis ta’lim juga merupakan lembaga pendidikan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari kalangan masyarakat Islam itu sendiri, yang kepentingannya untuk kemaslahatan umat manusia.[19] Oleh karena itu majelis ta’lim adalah lembaga swadaya masyarakat yang hidupnya didasarkan kepada ta’awun dan ruhama’u bainahum.
Majelis ta’lim diselenggarakan berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya, seperti pesantren dan madrasah, baik menyangkut sistem, materi maupun tujuannya. Majelis ta’lim terdapat hal-hal yang dapat membedakannya dengan yang lain, yaitu;
a.   majelis ta’lim adalah pendidikan non-formal Islam.
b.   waktu belajarnya berkala tetapi teratur, tidak setiap hari sebagaimana halnya sekolah atau madrasah.
c.   pengikut atau pesertanya disebut jama’ah (orang banyak), bukan pelajar atau santri. Hal ini didasarkan kepada kehadiran di majelis ta’lim bukan merupakan kewajiban sebagaimana dengan kewajiban murid menghadiri sekolah atau madrasah.
d.   tujuannya memasyarakatkan ajaran Islam.
Sedangkan bila dilihat dari strategi pembinaan umat, maka dapat dikatakan bahwa majelis ta’lim merupakan wadah atau wahana dakwah islamiah yang murni institusional keagamaan.[20] Sebagai institusi keagamaan Islam, sistem majelis ta’lim adalah melekat pada agama itu sendiri. Sehingga dengan demikian, sangat sulit untuk lepas dari institusi keagamaan dan sistem mejelis ta’lim. Fungsi dan peranan majelis ta’lim, tidak terlepas dari kedudukannya sebagai alat dan sekaligus media pembinaan kesadaran beragama. Usaha pembinaan masyarakat melalui majelis ta’lim ini, ditinjau dari pendekatannya, dapat dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu;
a. propanganda, yang lebih menitikberatkan kepada pembentukan opini publik, agar mereka mau bersikap dan berbuat sesuai dengan pesan-pesan moral Islam;
b. indoktrinasi, yaitu penanaman ajaran dengan konsepsi yang telah disusun secara tegas dan bulat oleh pihak pengajar untuk disampaikan kepada masyarakat, melalui ceramah, kursus, training centre dan sebagainya.
c. internalisasi, yaitu penanaman nilai-nilai Islam yang diharapkan dapat menumbuh-kembangkan cipta, rasa, dan karsa dalam tubuh jama’ah.
Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Adapun dalam beberapa sumber rujukan yang lain sebagaimana dalam Surat Menteri Dep. Dik.Bud nomor: 079/O/1979 tanggal 17 April 1975, bidang pendidikan non formal di antaranya adalah  pendidikan masyarakat, keolahragaan, dan pembinaan genarasi muda.[21]
Jenis pendidikan Islam non formal di Indonesia sangat beragam, maka beberapa jenis yang di antaranya pendidikan dalam keluarga, pendidikan anak usia dini dan remaja, pengajian-pengajian yang dilaksanakan di masjid-masjid maupun mushalla, majelis taklim, pembinaan rohani Islam pada institusi pemerintah maupun swasta, kursus-kursus yang diselenggarakan setingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi, pendidikan di panti-panti dan lain-lain. Adapun sebagai dasar landasannya adalah GBHN tahun 1998 bahwa pendidikan agama wajib dilaksanakan pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Meskipun dalam pikiran kita mengatakan bahwa agama tidak seharusnya diajarkan pada lembaga pendidikan, namun pendidikan agama bisa pelajari di manapun saja, asalkan bisa memahami apa-apa yang ada di sana. Dan juga agama merupakan yang harus dimiliki oleh setiap orang yang beragama.
Dengan demikian, masalah jenis pendidikan Islam non formal di Indonesia yang sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor: 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Bab III Pendidikan Keagamaan, Paragraf 2 Pendidikan Diniyah Non formal, Pasal 21, dan Ayat 1 yang berbuyi; Pendidikan diniyah non formal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, majelis taklim, pendidikan al-Qur’an, Diniyah Taklimiliyah, atau bentuk lain yang sejenis.[22]
  1. D.   Sistem Penyelenggaraan Kursus Privat Agama Islam di Perkotaan
Penulis mendeskripsikan tentang “sistem”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa “sistem” adalah perangkat unsur yang secara teratur dan saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.[23] Dengan penjelasan tersebut, maka dapat dimengerti tentang sistem. Sedangkan makna privat adalah pribadi dan tersendiri[24]. Ini memberikan makna sistem penyelenggaraan pembinaan keagamaan.
Pembinaan keagamaan adalah mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/ atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agama secara kusus. Waktu dan materi bahasannya ditentukan berdasarkan kedua pihak antara yang mengajar (ustad) yang diajar (murid). Termasuk masalah waktu ditentukan berdasarkan kesepatakan kedua pihak. Hal ini sangat marak adanya kegiatan halaqah di masjid kampus kota-kota besar seperti di kota Malang, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Bogor, dan bahkan Jakarta sangat pesat sekali, kalau dibandingkan dengan di pedesaan. Materi pokok yang dipelajari baik berupa belajar membaca al-Qur’an maupun pengetahuan agama. Penulis mencermati bahwa masyarakat sangat perlu membina anak-anaknya pada lembaga kursus, baik kursus membaca al-Qur’an, pengetahuan keagamaan, dan lain-lain. Hal ini diharapkan mampu mengetahui, memahami, mengembangkan, dan mengimplementasikan tentang pengetahuan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pelaksanaan kursus privat di perkotaan, banyak dimotori dari kalangan mahasiswa, baik dari privat tentang keagamaan, membaca al-Qur’an, maupun yang lainnya. Ini ada indikasi bahwa dari kalangan pemuda utamanya mahasiswa dapat berperan dalam masyarakat metropolis yang cepat berubah. Karena dalam belajar privat yang terjadi interaksi antara pengajar dan diajar, yaitu murid. Dalah hal materi dan waktu belajar sangat ditentukan kesepakatan kedua belah pihak. Jadi, kelonggaran waktu merupakan ciri pembelajaran privat. Kursus privat agama Islam merupakan usaha jasa yang berkembang di kota-kota besar. Namun, usaha jasa tersebut sangat berbeda dengan usaha-usaha  lainnya yang menonjolkan profit. Usaha ini berkembang seiring dengan tingkat kebutuhan masyarakat. Kursus ini  tidak melakukan promosi seperti lembaga kursus lainnya.

  1. E.   Sistem Penyelenggaraan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji)
Sistem penyelenggaran KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) merupakan termasuk pada pendidikan non formal, karena sistem yang diterapkan tidak menganut pada sistem pendidikan formal dan pendidikan informal. Dengan demikian, tidak heran kalau pelakasanaan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) hanya dilakukan sewaktu-waktu dan teratur seperti pendidikan formal. Utamanya ketika umat Islam hampir melakukan rukun Islam yang kelima yaitu ibadah haji yang dilaksanakan setip bulan Idul Adha.
Mengingat pelaksanaannya bersifat massal dan berlangsung dalam jangka waktu yang terbatas, penyelenggaraan ibadah haji memerlukan manajemen yang baik agar tertib, aman, dan lancar.
Peningkatan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan terhadap jamaah haji diupayakan melalui penyempurnaan sistem dan manjemen penyelenggaraan ibadah haji. Penyempurnaan sistem dan manajemen tersebut dimaksudkan agar calon jamaah haji atau jamaah haji lebih siap dan mandiri dalam menunaikan ibadah haji sesuai dengan tuntutan agama sehingga diperoleh haji mabrur. Upaya peningkatan dan penyempurnaan tersebut dilaksanakan dari tahun ke tahun agar tidak terulang kembali kesalahan dan atau kekurangan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Untuk tercapainya maksud tersebut, diperlukan suasana yang kondusif bagi warga negara yang akan melaksanakan ibadah haji. Suasana kondusif tersebut dapat dicapai apabila pihak penyelenggara ibadah haji mampu memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada calon jamaah haji dan jamaah haji. Pembinaan meliputi pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan; pelayanan meliputi pelayanan administrasi, transportasi, kesehatan, dan akomodasi; perlindungan meliputi keselamatan dan keamanan, perlindungan memperoleh kesempatan untuk menunaikan ibadah haji, serta BPIH yang terjangkau oleh calon jamaah haji. Sehubungan dengan itu, penyelenggara ibadah haji berkewajiban melaksanakan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan secara baik dengan menyediakan fasilitas dan kemudahan yang diperlukan calon jamaah haji dan jamaah haji.
Mengingat penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menyangkut martabat serta nama baik bangsa, kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji merupakan tanggung jawab pemerintah. Keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan ibadah haji merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari system dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji.
  1. F.    Pengembangan Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Non formal ke Depan
Pendidikan non formal makin lama makin diakui pentingnya dan kehadirannya sebagai pendidikan yang berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat dan bangsa serta sebagai bagian penting dari kebijakan dan program pembangunan. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa banyak di antara para tokoh bangsa Indonesia, baik dari kalangan budayawan, politikus, dan seniman yang lahir dari pendidikan non formal. Meskipun penulis sendiri juga kurang sepakat, kalau hanya mengandalkan pendidikan di non formal saja. Karena pengalaman pendidikan tidak bisa tanpa adanya komunikasi yang bagus di antara sesamanya maupun dari konteks yang lainnya.
Pemerintah sangat memperhatikan terhadap sistem penyelenggaraan pendidikan Islam non formal di Indonesia. Hal ini diakuinya keberadaan pendidikan di luar formal, seperti, pendidikan diniyah non formal, yang setelah adanya penyetaraan ujian nasonal. Dengan hal tersebut berarti pemerintah benar-benar ingin mengembangkan pendidikan Islam non formal yang ada di Indonesia ini. Bahkan pemerintah juga mengalokasikan dana untuk pengembangan pendidikan Islam non formal, baik dana untuk lembaga, para guru, maupun kegiatan-kegiatannya.
Pendidikan luar sekolah adalah life skill and leadership skill education sehingga lingkungan, situasi, dan kondisi akan membentuk peserta didik untuk lebih bisa beradaptasi dengan hidup.[25]
Agar masyarakat dapat menerima eksistensi lembaga pendidikan non-formal, maka ada baiknya bila diperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Pendidikan non-formal harus jelas tujuannya. Tujuan itu harus merupakan sesuatu yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat;
  2. Ditinjau dari segi masyarakat, program pendidikan non-formal harus menarik (appealing) baik hasil-hasil yang akan dicapai maupun cara-cara melaksanakannya;
  3. Adanya integrasi pendidikan non-formal dengan program-program pembangunan dalam masyarakat;
  4. Dalam pendidikan non-formal, program latihan mendapatkan prioritas. Persoalan latihan penting sekali dalam pendidikan non-formal karena hasil-hasilnya harus segera dapat diterapkan praktek kerja[26].
Dengan demikian, pendidikan ini perlu mendapatkan perhatian ke depan adalah, (1) adanya koordinasi dari berbagai pihak. Semua lembaga pemerintah, baik yang berstatus departemen maupun non-departemen, menyelenggarakan progam-program pendidikan non formal; (2) peningkatan mutu pendidik atau sumber belajar yang profesional; (3) latar belakang pendidik perlu mempunyai kesarjanaan kusus, yaitu sarjana pendidikan non formal; dan (4) sarana bacaan yang memadai agar menghasilkan kualitas tinggi yang setara fasilitas dengan  pendidikan formal.

  1. G.   Penutup
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan Islam non formal di Indonesia berperan mendukung program pendidikan nasional. Namun, pendidikan ini berlangsung di luar system persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani  peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya.
Pendidikan non formal merupakan salah satu jenis pendidikan di Indonesia. Jenis pendidikan lainnya adalah pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan non formal dapat terselenggara oleh individu atau yayasan yang mempunyai kesanggupan mengelola secara mandiri. Pendidikan ini perlu mempunyai visioner agar kehadirannya sesuai dengan kebutuhan era global. Jadi, keberadaannya dapat diterima oleh masyarakat manakala sistem penyelenggaraannya memertimbangkan proses pendidikan secara berkualitas. Selain itu, aspek peserta didik dan masyarakat merupakan kelompok yang perlu diajak untuk membahasnya.
Pendidikan Agama Islam non formal adalah pendidikan yang disyahkan oleh Undang-Undang dan diatur melalui Peraturan pemerintah No. 55 Tahun 2007, yang dilaksanakan sendiri ataupun sebagai suatu bagian yang penting dalam pendidikan formal dalam rangka peningkatan mutu pendidikan nasional dan untuk merespon tuntutan perubahan zaman.
Untuk dapat mempertahankan eksistensinya serta menjadikan pendidikan (Islam) non formal menjadi tempat pembentukan insan terdidik yang memiliki pengetahuan, ketrampilan dengan landasan cultur yang Islami, maka perhatian yang serius berupa tindakan nyata dari semua pihak sangat diharapkan, terutama pemerintah dan pengelola, orientasi partisipasi ini harus lebih di arahkan pada system pengelolaanya (manajemen, tenaga pengelola, system pembelajaran, kurikulum), sarana prasaran dan pembiayaan yang dibutuhkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS